Backlog Rumah Tembus 15 Juta Unit: Tantangan dan Solusi dari Pemerintah

InteriorKita.com - Sebagai warga negara yang aktif mengikuti isu-isu
pembangunan, aku menyadari betapa pentingnya memiliki hunian yang layak. Rumah
bukan sekadar tempat tinggal, melainkan fondasi utama bagi kesejahteraan
keluarga. Namun, kenyataannya, jutaan masyarakat Indonesia masih kesulitan
untuk memiliki rumah yang layak huni.
Setiap tahun, permintaan akan hunian terus meningkat seiring
pertumbuhan jumlah keluarga baru. Tapi sayangnya, pertumbuhan unit rumah yang
tersedia belum mampu mengejar laju tersebut. Hal ini memicu terjadinya backlog
atau ketimpangan penyediaan perumahan yang semakin mengkhawatirkan. Aku merasa
ini bukan lagi sekadar angka, tapi potret nyata masalah sosial yang harus
segera ditangani.
Dalam konteks ini, aku menaruh perhatian besar terhadap pernyataan terbaru dari Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah. Dalam sebuah acara nasional, ia membeberkan data terbaru yang cukup mengejutkan: backlog perumahan di Indonesia kini tembus hingga 15 juta unit. Ini menandakan urgensi akan perubahan sistem dan intervensi strategis dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan.
Data Backlog Rumah dari BPS
Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP),
Fahri Hamzah, mengungkapkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang
menunjukkan bahwa ketimpangan penyediaan rumah atau backlog kini telah mencapai
angka 15 juta unit.
Pernyataan ini disampaikan dalam sambutan Fahri pada acara
Silaturahmi Nasional (Silatnas) Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman
Seluruh Indonesia (Apersi) yang berlangsung di Jakarta, Senin (21/4/2025).
"Karena, ini juga data keluar dari BPS. Jumlah backlog baru itu bukan 9,9 juta atau 12 juta yang disebutkan. Jumlah backlog baru adalah sekitar 15 juta antrean untuk kepemilikan rumah baru," ujar Fahri.
Rumah Tidak Layak Huni Capai 26 Juta Unit
Tak hanya itu, Fahri juga menyebutkan bahwa jumlah backlog
rumah tidak layak huni (RTLH) di Indonesia saat ini mencapai 26 juta unit.
Angka ini menunjukkan bahwa tantangan sektor perumahan nasional jauh lebih
kompleks dari sekadar penyediaan unit baru.
Menurutnya, pertumbuhan jumlah keluarga tidak diiringi oleh
peningkatan jumlah hunian yang sepadan. “Jadi masyarakat kita ini bertumbuh,
Bapak/Ibu sekalian. Jumlah keluarga nambah, jumlah rumah tidak bertambah secara
kuat. Itu artinya, seperti yang tadi dikatakan, pasarnya ini membesar,"
lanjutnya.
Fakta ini menandakan bahwa kebutuhan hunian semakin mendesak dan memerlukan kebijakan yang lebih inklusif dan progresif dari pemerintah.
Ajakan Kolaborasi Bagi Stakeholder
Fahri mengajak seluruh pihak yang terlibat, termasuk Apersi
dan stakeholder lainnya, untuk memandang pasar perumahan dengan cara yang lebih
progresif dan strategis. Ia menegaskan bahwa pembangunan perumahan merupakan
mandat utama kementerian yang baru dibentuk.
"Tiga hal sebenarnya yang menjadi mandat dari
kementerian baru itu. Yang pertama adalah kita memberantas kemiskinan. Tadi
data-data yang kita katakan tadi itu," kata Fahri.
Menurutnya, penyediaan perumahan tidak hanya menyelesaikan persoalan tempat tinggal, tetapi juga berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi di daerah.
Menyerap Tenaga Kerja Lewat Sektor Perumahan
Mandat kedua yang disampaikan Fahri adalah meningkatkan
penyerapan tenaga kerja, baik dari daerah maupun pusat. Ia menyoroti bahwa
sektor perumahan memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja baru,
terutama melalui proyek-proyek renovasi dan pembangunan rumah.
“Karena sektor ini akan menyebabkan terjadinya begitu banyak
pekerjaan baru, terutama apabila ada renovasi-renovasi di daerah,” tambahnya.
Pemerintah saat ini sedang menyusun pola baru dalam mekanisme renovasi, agar tidak lagi menggunakan pendekatan konvensional yang selama ini dianggap kurang efisien.
Kebijakan Baru untuk Renovasi Rumah
Fahri juga menyampaikan bahwa pemerintah tengah mendesain
kebijakan baru terkait renovasi rumah. Hal ini bertujuan agar renovasi rumah
yang dilakukan ke depan lebih terstruktur, modern, dan mampu memberikan hasil
yang optimal bagi masyarakat.
“Dan ini juga perlu dicari polanya. Karena renovasi tidak
boleh lagi pakai pola renovasi lama Pak. Kami lagi mengatur, mendesain satu
kebijakan baru,” jelasnya.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi menyeluruh dalam mengatasi backlog perumahan nasional yang telah mencapai titik kritis.
Penutup: Solusi Butuh Kolaborasi
Sebagai rakyat, aku berharap bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi backlog ini bisa berjalan secara konkret dan menyeluruh. Tantangan besar seperti ini tak mungkin diselesaikan oleh satu pihak saja. Butuh kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, pengembang, hingga masyarakat untuk menciptakan ekosistem perumahan yang sehat dan inklusif.
Baca Juga:
Posting Komentar